Jumat, 17 Januari 2014

SEJARAH DAN ADAT DOU MBOJO/BIMA



UNSUR-UNSUR PEMBENTUKAN IDENTITAS NASIONAL
(DOU MBOJO)

1.      Suku bangsa
Suku Bima  atau  Dou Mbojo adalah suku yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima dan telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Suku ini menggunakan Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo. Menurut sejarahnya-, suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap daerah yang disebut Ncuhi. Pada masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa Lima, Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur selatan agar tidak ketahuan oleh para pemberontak dan langsung diangkat oleh para Ncuhi sebagai Raja Bima pertama. Namun Sang Bima langsung mengangkat anaknya sebagai raja dan beliau kembali lagi ke Jawa dan menyuruh 2 anaknya untuk memerintah di Kerajaan Bima. Oleh karena itu, sebagian bahasa Jawa Kuna kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.

2.      Agama
Masyarakat Biima memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang diakui akui oleh negara Indonesia sebagai berikut:
a.      Agama Islam
Pada masa sultan Baabullah(Ternate, 1570-1583), usaha penyiaran  Islam semakin ditingkatkan dan pada masa inilah, para Mubaliq dan pedagang Ternate meningkatkan kegiatan dakwah di Bima.  Hal itu terus berlanjut sesuai keterangan BO Istana, bahwa para Mubaliq dari Sulawesi Selatan  yang dikirim oleh Sultan Alauddin Gowa tiba di Sape pada tanggal 11 Jumadil Awal 1028 H bertepatan dengan tanggal 16 April 1618, tiga belas tahun setelah Raja Gowa dan Tallo memeluk Agama Islam, bahkan lima belas tahun setelah Raja Luwu memeluk Agama Islam.
Para mubaliq dari Tallo, Luwu, dan Bone tiba di Bima pada saat  situasi politik dan keamanan sangat tidak menguntungkan. Pada saat itu sedang terjadi konflik politik yang berkepanjangan, akibat tindakan dari Salisi salah seorang putera Raja Ma Wa’a Ndapa, yang berambisi untuk menjadi raja. Intrik dan rekayasa politik dijalankan oleh Salisi.  Ia membunuh keponakannya yaitu putera Raja Samara yang telah dilantik menjadi Putera Mahkota. Keponakannya itu dibakar hidup-hidup di padang rumput Wera, yang merupakan areal perburuan bagi raja dan keluarga Istana. Sehingga putera Mahkota itu dikenal dengan nama Ruma Mambora Di Mpori Wera. (Tuanku yang wafat di padang rumput Wera).
Suasana seperti itu tidaklah menyurutkan tekad dan semangat para mubaliq untuk menyiarkan islam di Bima. Mereka terus berupaya untuk menemui Putera Mahkota La Ka’I dalam pelariannya di dusun Kamina. Sebuah dusun di hutan belantara yang berada di puncak gunung La Mbitu di sebelah tenggara Bima.
Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H bertepatan dengan tanggal 7 Pebruari 1621 M, Putera Mahkota La Ka’I bersama pengikutnya mengucapkan dua kalimat syahadat dihadapan para mubaliq sebagai gurunya di Sape. Sejak itu, putera mahkota La Ka’I berganti nama menjadi Abdul Kahir. Pengikut La Ka’I Bumi Jara Mbojo bernganti nama menjadi Awaluddin, Manuru Bata putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese berganti nama menjadi Sirajuddin.
Pada tanggal 5 Juli 1640 M, Putera Mahkota Abdul Kahir dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama setelah melewati perjuangan panjang merebut tahta kerajaan dari pamannya salisi. Hal itu  yang menandai beralihnya sistim pemerintahan dari kerajaan kepada kesultanan. Sejak saat itu, Islam bersinar terang di Bumi Bima dan masa –masa selanjutnya menjadi kesultanan tersohor di Nusantara Timur.(Sumber : Kebangkitan Islam Di Dana Mbojo M. Hilir Ismail,  Upacara Adat Hanta UA PUA  Alan Malingi).
b.      Agama Hindu
Masyarakat Bima penganut agama Hindu yaitu transmigrasi karna menjalankan tugas dan berdagang di bima sehingga sehigga penganut agama Hindu di Bima tergolong minoritas. Hal ini disebabkan masyarakat Bima pada zaman dahulu menyembah pohon-pohon dan batu besar yang ada di gunung tertentu. Selama ini keberadaan penganut agama hindu di Bima tidak ada karena tidak memiliki patung peninggalan seperti candi-candi yang ada di Jawa.
c.       Kristen
Masyarakat Bima penganut agama Kristen (Protestan/Katolik) sangat banyak di Kec. Donggo terutama di desa donggo kala yang terletak di puncak gunung Donggo. Masuknya agama Kristen sejak penjajahan kolonial Belanda (VOC). Menurut beberapa pendapat bahwa penduduk donggo adalah etnis tidak mau menganut agama islam dan suka memberontak sehingga mereka dipindahkan ke Gunung Donggo. Letak posisinya sebelah barat perbatasab Bima dangan Dompu.






d.      Konghucu
Konghucu merupakan agama penganut dari etnis Tiong Hoa (China), Penganut agama Konghucu di Bima hanya etnis Tiong Hoa (China) yang melakukan perdagangan di Bima baik menetap maupun sementara di Bima. Tempat tinggal etnis Tiong Hoa yang paling banyak di Terminal Dara (Kota Bima) bahkan mereka memiliki tempat Pemakaman Khusus orang Tiong Hoa.
e.       Agama Budha
Budha adalah agama tertua kedua di Indonesia. Tetapi di Bima penganut agama Budha kalau dilihat tidak ada karna berdasarkan sejarah bima kami belum mendengarnya.


3.      Kebudayaan
Pada setiap daerah memiliki adat kebudayaan masing-masing sehingga antara satu dengan lainnya memiliki Khas tersendiri agar mudah dikenal. Di Bima memiliki pandangan hidup yang unik antara lain seperti segi upacara adat, permainan, seni bela diri,seni musik dan adat bertamu.
a.      Upacara Adat
   Upacara adat ini yang meliputi acara pernikahan dan hajatan. Acara  nikah di Bima lumayan rumit dibandingkan di Lombok karna intinya kedua mempelai harus nikah sah di Kepala Urusan Agama (KAU) setempat. Adapun tahap-tahap upacara penikahan yang dilaksanakan di Bima antara lain:
Ø  Lao Lamba (Pemberitahuan)
Maksud Lao Lamba ini yaitu pemberitahuan bahwa ada yang mau melamar si gadis melalui amanah orang yang terpercaya kepada orang tua gadis tersebut maka dari orang tua harus kasih tahu anak gadisnya bahwa dia mau dilamar oleh si pemuda. Apakah ia menerimanya atau tidak.
Ø  Nuntu Co’i (Menanyakan Mahar)
Nuntu co’i ini merupakan salah yang terpenting dalam kegiatan pernikahan sebelum menikah. Pada kegiartan ini mempertemukan kedua keluarga mempelai untuk meakukan tawar menawar mahar dan sebagai saksi mahar tersebut.
Ø  Urus Sura ra Ro’o (Mengurus Surat Nikah)
Urus Sura ra Ro’o yaitu mengurus surat nikah di KUA Kecamatan. Disini harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti Umur mempelai laki minimal 19 tahun dan perempuan 18 tahun dan lupa lagi mempelai laki harus bisa membaca al-Qu’an. Dan akadkan disana semuanya dihadiri kedua keluarga mempelai sebagai saksi.
Ø  Mbaju (Sumbangan Masyarakat Berupa Sembako)
Mbaju merupakan bukti solidaritas orang Bima terhadap tetangganya dengan cara memberikan sumbangan berupa beras dan gabah lalu dicatat sebagai tabungan orang yang kasih sumbangan apabila ia ada hajatan atau musibah tetapi pengembalian tidak dipaksakan.
Ø  Mbolo Weki (Sumbangan Masyarakat berupa Uang)
Mbolo Weki sama dengan Mbaju, yang membedakannya yaitu barangnya.
Ø  Membentuk Panitia dan Tu’u baruga (Membangun tenda)
Membentuk panitia ini dimaksudkan agar acara resepsi berjalan dengan lancar. Tu’u baruga (membangun tenda) sebagai tempat resepsi pernikahan.





Ø  Nikah (Acara Resepsi)
Resepsi merupakan puncak dari kegiatan upacara adat yang bertujuan memberikan kabar bahwa kedua mempelai sudah menikah dengan sah sesuai agama dan aturan pemerintah (Disertai buku nikah).


b.      Adat pakaian sehari-hari
Ø  Rimpu
Rimpu, pakaian adat perempuan Suku Bima ini merupakan bukti besarnya pengaruh kebudayaan Islam di Bima. Dari segi bentuk, rimpu sering diidentikan dengan mukena, yaitu pakaian yang dikenakan perempuan muslim ketika melaksanakan shalat. Satu set Rimpu terdiri dari dua bagian, sebagai penutup kepala sampai perut dan penutup perut sampai kaki (seperti rok perempuan pada umumnya). Secara fungsi rimu dibagi menjadi dua jenis,rimpu cili dan rimpu colo. Rimpu cili khusus untuk perempuan Bima yang belum menikah, bentuknya seperti mukena dengan bahan sarung tenun khas Bima, hanya saja pada bagian atas rimpu cili, yang terbuka adalah sepasang mata pemakainya saja. Sedangkan rimpu colo, digunakan oleh kaum ibu yang sudah menikah. Rimpu colo menutup seluruh bagian tubuh kecuali wajah pemakainya



Ø  Sambolo
Sambolo merupakan ikat kepala yang terbuat dari kain tenun, motifnya yang serupa sarung songket (songke), membuat sambolo kerap kali disebut sambolo songke.  Cara memakainya yaitu menjalin masing-masing ujung sehingga melingkari kepala dalam keadaan tertutup. Selain itu, kaum lelaki mengenakan sejenis kemeja berlengan dan berkerah pendek. Pada bagian bawah, lelaki bima menganakan sarung songket yang disebut tembe me’e. Dan mengenakan ikat pinggang yang disebut salepe. Bentuk salepe tidak berbeda dengan selendang, pemakaiannya hanya dililitkan melingkar di pinggang.

c.       Seni Musik
MmusMusik ini banyak gemari oleh orang Bima dan menjadikan Khas Bima yaitu Gambo (gambus), Biola (Biola), Rebana (kasida), Genda (gendang), Sarune (Seruling), Lonceng dll. Alat musik tersebut merupakan alat musik yang sama seperti di daerah lain tapi yang membedakannya irama musiknya khas sekali dari BIMA.


d.      Seni Bela Diri
Pada seni bela di Bima yaitu Gantao (Silat) dan Buja Kadanda (Seni Senjata tombak). Gantao merupakan silat yang diiringi dengan musik gendang, seruling  saat turnamen agar acara seru dan menggairahkan pemainnya. Sedangkan Buja Kadanda merupakan seni bela diri menggunakan tombak beserta tamengnya dan diiringi musik saat bertanding turnamen.
e.       Tarian
Tarian adat Bima yang biasa ditampilkan yaitu pasapu monca, bongi monca, dll. Masih banyak lagi tarian yang diciptakan oleh sultan bima dulu yang bertujuan untuk menghibur raja dan sambutan tamu raja.
4.      Bahasa
Penggunaan bahsa didaerah Bima terdiri dari: Bahasa Bima (Nggahi Mbojo), Bahasa Donggo (Dou Donggo), Bahasa Sambori (Dou La Mbitu) dan Bahasa Kolo (Dou Kolo). Meskipun banyak perbedaan bahasa di Bima tetapi mereka sangat paham dengan Bahasa Bima (Nggahi Mbojo). Bahasa Bima digunakan oleh dou Mbojo (Bima/Dompu).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar