UNSUR-UNSUR
PEMBENTUKAN IDENTITAS NASIONAL
(DOU
MBOJO)
1. Suku
bangsa
Suku Bima atau
Dou Mbojo adalah suku yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima dan telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Suku ini menggunakan Bahasa Bima atau Nggahi
Mbojo. Menurut sejarahnya-, suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap daerah
yang disebut Ncuhi. Pada
masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa Lima, Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur
selatan agar tidak ketahuan oleh para pemberontak dan langsung diangkat oleh
para Ncuhi sebagai Raja Bima pertama. Namun Sang
Bima langsung mengangkat anaknya sebagai raja dan beliau kembali lagi ke Jawa dan menyuruh 2 anaknya untuk memerintah
di Kerajaan Bima. Oleh karena itu, sebagian bahasa Jawa Kuna kadang-kadang masih digunakan sebagai
bahasa halus di Bima.
2. Agama
Masyarakat Biima memiliki kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang diakui akui oleh negara Indonesia
sebagai berikut:
a. Agama
Islam
Pada masa sultan
Baabullah(Ternate, 1570-1583), usaha penyiaran Islam semakin ditingkatkan
dan pada masa inilah, para Mubaliq dan pedagang Ternate meningkatkan kegiatan
dakwah di Bima. Hal itu terus berlanjut sesuai keterangan BO Istana, bahwa
para Mubaliq dari Sulawesi Selatan yang dikirim oleh Sultan Alauddin Gowa
tiba di Sape pada tanggal 11 Jumadil Awal 1028 H bertepatan dengan tanggal 16
April 1618, tiga belas tahun setelah Raja Gowa dan Tallo memeluk Agama Islam,
bahkan lima belas tahun setelah Raja Luwu memeluk Agama Islam.
Para mubaliq dari
Tallo, Luwu, dan Bone tiba di Bima pada saat situasi politik dan keamanan
sangat tidak menguntungkan. Pada saat itu sedang terjadi konflik politik yang
berkepanjangan, akibat tindakan dari Salisi salah seorang putera Raja Ma Wa’a
Ndapa, yang berambisi untuk menjadi raja. Intrik dan rekayasa politik
dijalankan oleh Salisi. Ia membunuh keponakannya yaitu putera Raja Samara
yang telah dilantik menjadi Putera Mahkota. Keponakannya itu dibakar
hidup-hidup di padang rumput Wera, yang merupakan areal perburuan bagi raja dan
keluarga Istana. Sehingga putera Mahkota itu dikenal dengan nama Ruma Mambora
Di Mpori Wera. (Tuanku yang wafat di padang rumput Wera).
Suasana seperti itu
tidaklah menyurutkan tekad dan semangat para mubaliq untuk menyiarkan islam di
Bima. Mereka terus berupaya untuk menemui Putera Mahkota La Ka’I dalam
pelariannya di dusun Kamina. Sebuah dusun di hutan belantara yang berada di
puncak gunung La Mbitu di sebelah tenggara Bima.
Pada tanggal 15
Rabiul Awal 1030 H bertepatan dengan tanggal 7 Pebruari 1621 M, Putera Mahkota
La Ka’I bersama pengikutnya mengucapkan dua kalimat syahadat dihadapan para
mubaliq sebagai gurunya di Sape. Sejak itu, putera mahkota La Ka’I berganti
nama menjadi Abdul Kahir. Pengikut La Ka’I Bumi Jara Mbojo bernganti nama
menjadi Awaluddin, Manuru Bata putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese berganti
nama menjadi Sirajuddin.
Pada tanggal 5 Juli
1640 M, Putera Mahkota Abdul Kahir dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama
setelah melewati perjuangan panjang merebut tahta kerajaan dari pamannya
salisi. Hal itu yang menandai beralihnya sistim pemerintahan dari
kerajaan kepada kesultanan. Sejak saat itu, Islam bersinar terang di Bumi Bima
dan masa –masa selanjutnya menjadi kesultanan tersohor di Nusantara
Timur.(Sumber : Kebangkitan Islam Di Dana Mbojo M. Hilir Ismail, Upacara
Adat Hanta UA PUA Alan Malingi).
b. Agama
Hindu
Masyarakat Bima penganut agama Hindu yaitu
transmigrasi karna menjalankan tugas dan berdagang di bima sehingga sehigga penganut
agama Hindu di Bima tergolong minoritas. Hal ini disebabkan masyarakat Bima
pada zaman dahulu menyembah pohon-pohon dan batu besar yang ada di gunung
tertentu. Selama ini keberadaan penganut agama hindu di Bima tidak ada karena
tidak memiliki patung peninggalan seperti candi-candi yang ada di Jawa.
c. Kristen
Masyarakat Bima penganut agama Kristen
(Protestan/Katolik) sangat banyak di Kec. Donggo terutama di desa donggo kala
yang terletak di puncak gunung Donggo. Masuknya agama Kristen sejak penjajahan
kolonial Belanda (VOC). Menurut beberapa pendapat bahwa penduduk donggo adalah
etnis tidak mau menganut agama islam dan suka memberontak sehingga mereka
dipindahkan ke Gunung Donggo. Letak posisinya sebelah barat perbatasab Bima
dangan Dompu.
d. Konghucu
Konghucu merupakan agama penganut dari etnis
Tiong Hoa (China), Penganut agama Konghucu di Bima hanya etnis Tiong Hoa
(China) yang melakukan perdagangan di Bima baik menetap maupun sementara di
Bima. Tempat tinggal etnis Tiong Hoa yang paling banyak di Terminal Dara (Kota
Bima) bahkan mereka memiliki tempat Pemakaman Khusus orang Tiong Hoa.
e. Agama
Budha
Budha adalah agama tertua kedua di Indonesia.
Tetapi di Bima penganut agama Budha kalau dilihat tidak ada karna berdasarkan
sejarah bima kami belum mendengarnya.
3.
Kebudayaan
Pada setiap daerah memiliki adat kebudayaan masing-masing sehingga
antara satu dengan lainnya memiliki Khas tersendiri agar mudah dikenal. Di Bima
memiliki pandangan hidup yang unik antara lain seperti segi upacara adat,
permainan, seni bela diri,seni musik dan adat bertamu.
a. Upacara
Adat
Upacara
adat ini yang meliputi acara pernikahan dan hajatan. Acara nikah di Bima lumayan rumit dibandingkan di
Lombok karna intinya kedua mempelai harus nikah sah di Kepala Urusan Agama
(KAU) setempat. Adapun tahap-tahap upacara penikahan yang dilaksanakan di Bima
antara lain:
Ø Lao
Lamba (Pemberitahuan)
Maksud Lao Lamba ini yaitu pemberitahuan bahwa ada yang mau melamar si
gadis melalui amanah orang yang terpercaya kepada orang tua gadis tersebut maka
dari orang tua harus kasih tahu anak gadisnya bahwa dia mau dilamar oleh si
pemuda. Apakah ia menerimanya atau tidak.
Ø Nuntu
Co’i (Menanyakan Mahar)
Nuntu co’i ini merupakan salah yang terpenting dalam kegiatan pernikahan
sebelum menikah. Pada kegiartan ini mempertemukan kedua keluarga mempelai untuk
meakukan tawar menawar mahar dan sebagai saksi mahar tersebut.
Ø Urus
Sura ra Ro’o (Mengurus Surat Nikah)
Urus Sura ra Ro’o yaitu mengurus surat nikah di KUA Kecamatan. Disini
harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti Umur mempelai laki minimal 19
tahun dan perempuan 18 tahun dan lupa lagi mempelai laki harus bisa membaca
al-Qu’an. Dan akadkan disana semuanya dihadiri kedua keluarga mempelai sebagai
saksi.
Ø Mbaju
(Sumbangan Masyarakat Berupa Sembako)
Mbaju merupakan bukti solidaritas orang Bima terhadap tetangganya dengan
cara memberikan sumbangan berupa beras dan gabah lalu dicatat sebagai tabungan
orang yang kasih sumbangan apabila ia ada hajatan atau musibah tetapi
pengembalian tidak dipaksakan.
Ø Mbolo
Weki (Sumbangan Masyarakat berupa Uang)
Mbolo Weki sama dengan Mbaju, yang membedakannya yaitu barangnya.
Ø Membentuk
Panitia dan Tu’u baruga (Membangun tenda)
Membentuk panitia ini dimaksudkan agar acara resepsi berjalan dengan
lancar. Tu’u baruga (membangun tenda) sebagai tempat resepsi pernikahan.
Ø Nikah
(Acara Resepsi)
Resepsi merupakan puncak dari kegiatan
upacara adat yang bertujuan memberikan kabar bahwa kedua mempelai sudah menikah
dengan sah sesuai agama dan aturan pemerintah (Disertai buku nikah).
b. Adat
pakaian sehari-hari
Ø Rimpu
Rimpu, pakaian adat perempuan Suku Bima ini merupakan bukti
besarnya pengaruh kebudayaan Islam di Bima. Dari segi bentuk, rimpu sering
diidentikan dengan mukena, yaitu pakaian yang dikenakan perempuan muslim ketika
melaksanakan shalat. Satu set Rimpu terdiri dari
dua bagian, sebagai penutup kepala sampai perut dan penutup perut sampai kaki
(seperti rok perempuan pada umumnya). Secara fungsi rimu dibagi menjadi dua
jenis,rimpu cili dan rimpu colo. Rimpu cili khusus
untuk perempuan Bima yang belum menikah, bentuknya seperti mukena dengan bahan
sarung tenun khas Bima, hanya saja pada bagian atas rimpu cili, yang terbuka
adalah sepasang mata pemakainya saja. Sedangkan rimpu colo, digunakan oleh kaum
ibu yang sudah menikah. Rimpu colo menutup seluruh bagian tubuh kecuali wajah
pemakainya
Ø Sambolo
Sambolo merupakan ikat kepala yang terbuat dari kain tenun, motifnya
yang serupa sarung songket (songke), membuat sambolo kerap kali disebut sambolo
songke. Cara memakainya yaitu menjalin masing-masing ujung sehingga
melingkari kepala dalam keadaan tertutup. Selain itu, kaum lelaki mengenakan
sejenis kemeja berlengan dan berkerah pendek. Pada bagian bawah, lelaki bima
menganakan sarung songket yang disebut tembe me’e. Dan mengenakan ikat pinggang
yang disebut salepe. Bentuk salepe tidak berbeda dengan selendang, pemakaiannya
hanya dililitkan melingkar di pinggang.
c.
Seni Musik
MmusMusik ini banyak gemari oleh orang Bima
dan menjadikan Khas Bima yaitu Gambo (gambus), Biola (Biola), Rebana (kasida),
Genda (gendang), Sarune (Seruling), Lonceng dll. Alat musik tersebut merupakan
alat musik yang sama seperti di daerah lain tapi yang membedakannya irama
musiknya khas sekali dari BIMA.
d. Seni
Bela Diri
Pada seni bela di Bima yaitu Gantao (Silat)
dan Buja Kadanda (Seni Senjata tombak). Gantao merupakan silat yang diiringi
dengan musik gendang, seruling saat turnamen agar acara
seru dan menggairahkan pemainnya. Sedangkan Buja Kadanda merupakan seni bela
diri menggunakan tombak beserta tamengnya dan diiringi musik saat bertanding
turnamen.
e.
Tarian
Tarian
adat Bima yang biasa ditampilkan yaitu pasapu monca, bongi monca, dll. Masih
banyak lagi tarian yang diciptakan oleh sultan bima dulu yang bertujuan untuk
menghibur raja dan sambutan tamu raja.
4.
Bahasa
Penggunaan bahsa
didaerah Bima terdiri dari: Bahasa Bima (Nggahi Mbojo), Bahasa Donggo (Dou
Donggo), Bahasa Sambori (Dou La Mbitu) dan Bahasa Kolo (Dou Kolo). Meskipun
banyak perbedaan bahasa di Bima tetapi mereka sangat paham dengan Bahasa Bima
(Nggahi Mbojo). Bahasa Bima digunakan oleh dou Mbojo (Bima/Dompu).